Di bawah ini adalah sebagian kecil dari akhlak mulia Nabi Muhammad SAW, Saya hanya khawatir jika akhlak Rasul SAW tidak dikabarkan, ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan itu mengikuti jejak Baginda Rasulullah SAW,....Rasul SAW tidak pernah berakhlak seperti itu.. Seperti yang baru baru ini viral di Tipi,, Soal sebagian kecil dzurriyyah Nabi yang berkelakuan jauh dari Akhlaq Nabi SAW...
Shollu Alannabi Muhammad Shollallohu Alaihi Wasallam....
Al-Imam At-Tirmizi di dalam kitab AsSyamaail meriwayatkan sebuah dialog antara Al-Husein bin Ali dengan ayahnya (Ali ibn Abi Thalib).
«قال الحسين: سألت أبي عن سيرة النبي صلى الله عليه وسلم في جلسائه فقال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
Al-Husain Radiyallahu 'anhu berkata : " Aku pernah bertanya kepada ayahku ( Ali bin Abi Thalib ) mengenai kehidupan Rasulullah SAW di tengah-tengah para sahabatnya. Imam Ali KRW menjelaskan bahwa Rasulullah SAW adalah :
دائم البشر
Seorang yang berwajah ramah dan ceria
سهل الخلق، لين الجانب
Akhlaq dan perilaku yang yang lembut
ليس بفظ ولا غليظ ولا صخاب ولا فحاش ولا عياب ولا مشاح
Tidak pernah membuat jahat, ucapan dan perbuatannya tidak kotor, tidak suka memprotes dan mencela orang lain, tidak berlebih-lebihan dalam memuji.
يتغافل عما لا يشتهي،
Mudah melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya ( tidak menyimpan dendam ).
ولا يؤيس منه راجيه ،
Tidak memutuskan harapan orang lain
ولا يجيب فيه،
Berusaha membuat orang lain optimis
قد ترك نفسه من ثلاث: المراء والإكثار وما لا يعنيه ،
Berusaha menjauhi tiga perkara: perselisihan dengan orang lain ( dalam perkataan dan harta ), boros berkata-kata dan dengan harta, menjauhi segala sesuatu yang tidak bermanfaat.
وترك الناس من ثلاث: كان لا يذم أحدا ولا يعيبه ولا يطلب عورته ، ولا يتكلم إلا فيما رجا ثوابه
Nabi SAW menjauhi manusia yang kerap melakukan 3 perkara: (1) Suka mencela dan menghina orang lain, (2) membuka aib( kejelekan ) orang lain, (3) berbicara dengan orang lain tanpa manfaat
وإذا تكلم أطرق جلساؤه كأنما على رؤوسهم الطير ،
Jika Rasulullah SAW bersuara, para sahabat akan menundukkan kepala mereka seakan-akan di atas kepala mereka terdapat suatu beban. (Khusyuk mendengarkan)
فإذا سكت تكلموا،
Apabila Baginda diam (telah selesai bicara) barulah para sahabat berbicara
لا يتنازعون عنده الحديث،
Mereka tidak berselisih pandangan di hadapan Baginda SAW
من تكلم عنده أنصتوا له حتى يفرغ،
Siapa pun berbicara dengan Baginda SAW, sahabat yang lain akan diam memerhatikan hinggalah orang itu selesai berbicara
حديثهم عنده حديث أولهم،
Baru disusuli oleh perbicaraan yang berikutnya
يضحك مما يضحكون منه
Baginda SAW akan tertawa hanya apabila mereka tertawa (tidak tertawa duluan/tersenyum)
ويتعجب مما يتعجبون منه
Baginda mengagumi sesuatu yang dikagumi oleh mereka
ويصبر للغريب على الجفوة في منطقة ومسألته، حتى إذا كان أصحابه ليستجلبونهم .
Baginda SAW bersabar atas sikap kasar dan permintaan orang asing (yang belum mengenali Baginda ), hingga para sahabat pun ikut memerhatikan permintaan orang asing tersebut.
«ويقول: إذا رأيتم طالب حاجة يطلبها فأرفدوه .
Baginda SAW bersabda : " Apabila kamu melihat seseorang yang mencari sesuatu yang diperlukan , maka bantulah ia ".
ولا يقبل الثناء إلا من مكافىء ،
Baginda SAW tidak menerima pujian atas apa yang tidak Baginda kerjakan
ولا يقطع على أحد حديثه حتى يجوز فيقطعه بنهي أو قيام» .
Baginda SAW tidak suka memotong perbicaraan orang lain kecuali pada perkataan-perkataan yang tidak baik sehingga Baginda dapat mencegahnya atau Baginda terus berdiri lalu meninggalkannya.
Ini hanya sebagian kecil akhlak Rasulullah SAW yang telah dibuktikan oleh sejarah dan diakui oleh lawan maupun kawan. Masih banyak akhak mulia beliau SAW yang bisa kita temukan dari sejarah kehidupan Beliau.
Jika Nabi SAW begitu indah dan mulia dengan akhlak. Lalu kemudian Habib muda yang ceramahnya suka maki2 orang itu ngikutin akhlak siapa?? Pikir sendiri aja.
Semoga kita selaku umatnya senantiasa diberikan kemudahan untuk meneladani Beliau SAW.
Aamiin Aamiin Aamiin Yaa Robbal Aalamiin....
Senin, 24 Desember 2018
Kamis, 06 Desember 2018
Debat Itu Jangan Marah Marah,, Slow, Bro..
●Debat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal tentang orang yang meninggalkan shalat.
Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Fariduddin Attar merekam diskusi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal tentang kedudukan orang yang meninggalkan shalat. Diceritakan:
أنه ذهب أحمد بن حنبل إلي أنّ تارك صلاة واحدة عمدا يكفر, عملا بظاهر الحديث: (من ترك صلاة متعمّدا فقد كفر). قال له الشافعي رضي الله عنه: إذا ترك أحد صلاة عمدًا وكفر كما هو مذهبك, كيف يعمل ليرجع إلي الإسلام؟ قال: يصلي. قال الشافعي رضي الله عنه: فكيف تصحّ الصلاة من الكافر؟! فانقطع أحمد عن الكلام.
Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan orang yang meninggalkan shalat satu kali saja dengan sengaja, dia dihukumi kafir. Dasarnya adalah zahir teks hadits: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja, dia telah kafir.”
Imam Syafi’i berkata kepadanya: “Jika seseorang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dihukumi kafir seperti madzhabmu (pendapatmu), bagaimana cara orang tersebut kembali pada Islam?”
Imam Ahmad bin Hanbal menjawab: “Melakukan shalat.”
Imam Syafi’i berkata lagi: “Bagaimana mungkin shalat orang kafir dipandang sah?!”
Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal diam, tidak mengatakan apa-apa lagi. (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 272).
Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah dalam dunia akademik. Jika tidak ada perbedaan pendapat, khazanah keilmuan kita tidak akan sekaya ini. Kitab-kitab keagamaan akan terlihat ramping. Tidak ada kitab yang berjilid-jilid dan kaya informasi. Dari sudut pandang ini, perbedaan pendapat adalah rahmat, bentuk kasih sayang Tuhan yang Maha Berpengetahuan kepada umat manusia. Tinggal bagaimana kita melestarikannya.
Kisah di atas mengajarkan kita pentingnya untuk mengetahui bagaimana proses hukum fiqih terjadi. Misalnya hadits riwayat Imam Muslim yang mengatakan, “al-ghuslu yaum al-jum’ah wâjibun ‘ala kulli muhatalimin—mandi hari jumat wajib bagi setiap muslim yang telah baligh.”
Zahirnya jelas mengatakan kewajiban mandi Jumat, tapi mayoritas ulama menghukuminya sunnah, meski ada juga yang menghukuminya wajib seperti Madzhab Dzahiri. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena ulama tidak gegabah mengambil kesimpulan tanpa melakukan telaah mendalam. Dalam kasus mandi Jumat, para ulama harus mempertimbangkan zahir hadits lainnya.
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنِ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
“Barangsiapa yang berwudlu di hari jumat maka cukup baginya dan baik. Barangsiapa yang mandi jumat, maka mandi itu lebih utama.” (H.R. Imam Tirmidzi dan Imam Abu Daud)
Atas dasar hadits di atas, mayoritas ulama mengatakan bahwa mandi Jumat hukumnya sunnah, bukan wajib. Begitupun dengan diskusi Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal tentang kedudukan orang yang meninggalkan shalat.
Imam Syafi’i tentunya tahu dasar argumentasi Imam Ahmad bin Hanbal. Tapi Ia pun tidak bisa mengabaikan hadits tentang larangan mudahnya mengkafirkan orang (HR. Imam Muslim): “man da’â rajulan bi al-kufr aw qâla ‘aduwwa Allah wa laisa kadzalik illâ hâra ilaih—barang siapa yang mendakwa seseorang dengan kekufuran, atau menyebutnya musuh Allah, sedangkan dia tidak seperti itu, hal tersebut akan kembali pada yang mengucapkannya.”
Dalam Madzhab Syafi’i, orang yang meninggalkan shalat bisa dikatakan kafir ketika dia meninggalkannya karena mengingkari kewajiban shalat (jâhidan li wujûbihi). Akan tetapi, jika meninggalkannya karena malas (kaslan) dan menyepelekan (tahâwun), orang tersebut tidak dihukumi kafir, tetapi berdosa. (Fariduddin Attar, 2009, 272).
Karena itu sangat penting untuk memahami keragaman hukum fikih untuk memperluas pengetahuan kita. Orang yang berpengetahuan luas, biasanya tidak akan mempersulit tapi mempermudah, seperti kisah ulama-ulama kita di masa lalu. Memberikan hukum yang paling mudah untuk masyarakat umum, dan memberikan hukum yang paling berat untuk dirinya sendiri.
Kisah di atas mengajarkan kita beberapa hal. Pertama, jangan mudah menyalahkan amalan orang lain, siapa tahu dia mempunyai dasar hukum dalam amalannya itu. Kedua, pentingnya mempelajari mekanisme pengambilan hukum fiqih (ushul fiqih), agar pemahaman kita terhadap zahir teks lebih dekat dengan pemahaman yang benar.
Ketiga, pentingnya mengetahui keragaman pendapat ulama. Ketika perbedaan pendapatnya masih dalam wilayah furu’iyyah, tidak perlu menyalahkan satu sama lain. Setiap pendapat memiliki dasarnya sendiri-sendiri.
Tergantung pada kekuatan nalar kita. Kita diberi kebebasan untuk memilih mana pendapat yang lebih kuat, meski belum tentu pendapat yang menurut kita lebih kuat, lebih benar dari pendapat lainnya.
Keempat, pintu taubat selalu terbuka. Imam Syafi’i enggan menyebut orang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir. Ia memandang semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk kembali kepada Allah. Pendekatannya tidak menakuti orang-orang yang terlanjur bermaksiat, tapi merangkul mereka.
Kelima, mencari kebenaran, bukan kemenangan. Pada akhir diskusi, Imam Ahmad bin Hanbal diam. Artinya, Ia membenarkan pendapat Imam Syafi’i. Ia tidak ngotot mempertahankan pendapatnya, tapi menerimanya dengan tidak melakukan bantahan. Karena yang mereka cari dari debat atau diskusi tersebu bukanlah kemenangan atau kemewahan intelektual, melainkan kebenaran.
PERTANYAANNYA.... SEBERAPA BANYAK KITA LUANGKAN WAKTU KITA UNTUK BELAJAR DENGAN GURU YANG BENAR-BENAR MUMPUNI....?? JIKA BELUM,, KENAPA KITA MUDAH MENGOMENTARI WILAYAH DI LUAR KEAHLIAN KITA, BAHKAN MENYALAHKANNYA...!!
SEMOGA KITA SEMUA TERHINDAR DARI HAL TERSEBUT.. AAMIIN...
SEMOGA KITA SEMUA TERHINDAR DARI HAL TERSEBUT.. AAMIIN...
Langganan:
Postingan (Atom)