Selasa, 09 Oktober 2018

ULAMA (ULAMAA)

ULAMA
Kata ‘ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim. Kata ini berasal dari akar kata ‘alima—ya’lamu—‘ilman. Di dalam berbagai bentuknya, kata ini disebut 863 kali di dalam Al-Qur’an. Masing-masing dalam bentuk fi’il madhi 69 kali; fi’il mudhari’ 338 kali; dan fi’il amr 27 kali. Selebihnya dalam bentuk ism dalam berbagai variannya sebanyak 429 kali. Sedemikian pentingnya persoalan ilmu, sehingga kata ilmu merupakan kata kedua paling banyak yang diulang-ulang penggunaannya dalam Al-Qur’an. Kata pertama adalah “Allah” dan kata kedua adalah “ilmu”.

Lalu apakah arti ilmu? Pakar mufrodat, kosakata Al-Qur’an, Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam karya cemerlangnya, Mu’jam Mufrodat Al-Fazh Al-Qur’an, menjelaskan bahwa ilmu adalah mengetahui hakikat sesuatu (idrokusy sya’i bi haqiiqotih). Pengetahuan dalam konteks ini, ada dua macam. Pertama, pengetahuan tentang sesuatu. Kedua, penilaian terhadap sesuatu setelah melalui proses pengujian mengenai kebenaran atau ketidakbenarannya.
Pada segi lain, ilmu juga terbagi dua yaitu ilmu teoretis (nazhoriyyun) dan ilmu praktis (‘amaliyyun). Ilmu teoretis adalah ilmu yang apabila telah kita ketahui, maka sempurnalah pengetahuan kita (maa idza ‘ulima faqod kamala). Contohnya ilmu tentang fenomena alam. Sedangkan ilmu praktis adalah ilmu yang tidak akan sempurna kecuali dengan mempraktekannya atau mengamalkannya (maa la yatimmu illa bi anya’mala). Contohnya adalah ilmu tentang ibadah.

Dengan demikian, secara leksikal ‘aliim yang merupakan bentuk ism mubalaghah dari ‘aalim, berarti orang yang memiliki pengetahuan tentang zat (hakikat) sesuatu, baik yang bersifat teoretis maupun yang bersifat praktis, atau orang yang memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai masalah dengan sebaik-baiknya.
Adapun kata ‘ulama hanya disebut dua kali di dalam Al-Qur’an, yakni pada QS. Fathir (35): 28; dan QS. Asy-Syu’ara (26): 197. Di dalam surat Fathir 35: 28, ‘ulama disebut dalam konteks ajakan Al-Qur’an untuk memerhatikan turunnya hujan dari langit, keanekaragaman buah-buahan, gunung, binatang, dan manusia, yang kemudian diakhiri dengan pernyataan, yang artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”.

Karena itu, konteks makna ayat ke-27 dalam surat Fathir tidak boleh dipisahkan dengan ayat ke-28; sebab kedua ayat tersebut berhubungan satu sama lain. Mari kita lihat arti lengkap kedua ayat tersebut:
“Tidakkah engkau perhatikan bahwa Allah menurunkan dari langit air lalu Kami mengeluarkan dengannya buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan di antara gunung-gunung ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang pekat hitam”.
“Demikian pula manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, bermacam-macam warnanya seperti itu (pula). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”.
Dari rangkaian dua ayat tersebut, terlihat jelas bahwa dari kalangan umat manusia yang benar-benar sanggup merasakan keagungan Ilahi dan kemudian tumbuh dalam diri mereka sikap takwa dan takut (dalam arti positif) kepada-Nya ialah mereka yang memahami secara mendalam eksistensi lingkungannya, sejak dari gejala alam seperti hujan, kemudian gejala kehidupan flora, fauna dan minerologi (gunung-gunung yang berwarna-warni karena kandungan mineralnya) dan akhirnya, gejala kemanusiaan, yang kesemuanya itu sangat beraneka ragam.

Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb menamakan fenomena alam semesta yang diuraikan dua ayat tersebut dengan kitab alam semesta yang indah yang disingkap rahasia maknanya oleh para ulama. Para ulama adalah orang-orang yang merenungi kitab semesta yang menakjubkan ini. Karenanya, mereka makrifat terhadap Allah dengan makrifat yang sebenarnya. Mereka mengenal Allah melalui tanda-tanda ciptaan-Nya. Mengenal-Nya melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dan, merasakan hakikat keagungan-Nya dengan melihat hakikat ciptaan-Nya.

Selain itu, karenanya pula mereka takut kepada Allah dengan sebenarnya, bertakwa kepada-Nya dengan sesungguhnya, dan beribadah kepada-Nya dengan setulusnya. Bukan dengan perasaan tidak jelas yang didapati oleh hati di depan keagungan semesta. Namun, dengan makrifat yang detail dan ilmu yang langsung. Para ulama ini, mempunyai ilmu yang menyampaikan. Yaitu, ilmu yang dirasakan oleh hatinya, yang menggerakkannya, dan dengannya ia melihat sentuhan “tangan” Allah yang menciptakan warna-warni, celupan, bentuk, dan susunannya dalam alam semesta yang indah itu.
Dengan kata lain, rangkaian ayat tersebut mengisyaratkan bahwa ulama adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyyah (kosmos) dan ayat-ayat yang bersifat insaniyyah (kosmis). Paling tidak, ulama adalah para ilmuwan yang memiliki pengetahuan tentang natural sciences sekaligus social sciences, yakni menguasai sebagian pengetahuan saintifik sekaligus sebagian pengetahuan yang berhubungan dengan kemanusiaan.

Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, pengetahuan ulama tentang fenomena alam dan kehidupan manusia tersebut haruslah menghasilkan khosyyah. Kata khosyyah menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani,
خَوْفٌ يَشُوْبُهُ تَعْظِيْمٌ وَاَكْثَرُ ماَ يَكُوْنُ ذَلِكَ عَنْ عِلْمٍ بِمَا يُخْشَى مِنْهُ, ولذلك خُصَّ العُلَمَاءُ بِهَا
Yakni rasa takut yang disertai pengagungan dan pengagungan tersebut kebanyakan muncul setelah mengetahui apa yang ditakuti. Oleh karena itu, rasa takut yang penuh pengagungan itu hanya dimiliki oleh para ulama.

Dalam konteks ini pula, pernyataan Al-Qur’an bahwa yang memiliki sifat khosyyah tersebut hanya ulama; mengandung makna penegasan sekaligus pembatasan. Artinya, hanya ulama-lah yang memiliki sifat khosyyah dengan ilmunya dan orang yang tidak memiliki sifat khosyyah tidak layak disebut ulama, meskipun memiliki ilmu yang luas.
Kemudian, dalam surat Asy-Syu’ara ayat 197, kata ulama disebut dalam konteks pembicaraan tentang kebenaran kandungan Al-Qur’an yang telah diakui (diketahui) oleh ulama Bani Israil. Ayat ini mengisyaratkan bahwa ulama juga adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Qur’aniyyah.

Dari berbagai makna di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa ulama dalam perspektif Al-Qur’an adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyyah dan insaniyyah, maupun yang bersifat qouliyyah-qur’aniyyah yang dapat mengantarkan mereka kepada sikap tunduk dan takut yang disertai pengagungan kepada Allah. Inilah pengertian secara ideal dan global tentang kata ulama.
Dari pengertian ulama secara global tersebut, apakah penjelasan tentang ulama sudah mencukupi dan memadai? Apakah makna tersebut sudah lengkap dan selesai? Ternyata belum. Di sini, pengertian ulama, harus kita hubungkan lagi dengan sebuah hadits Nabi Saw yang sangat populer, yakni: ‘al-ulama warotsatul anbiya’; “Para ulama adalah ahli waris para Nabi”.

Secara garis besar, ada empat tugas yang harus dilaksanakan oleh ulama dalam kedudukan mereka sebagai ahli waris pada Nabi. Pertama, menyampaikan ajaran kitab suci (tabligh) karena Rasul diperintahkan:
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak engkau lakukan, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memeliharamu dari gangguan manusia” (QS. Al-Maidah 5: 67).
Ini menuntut para ahli waris Nabi untuk menyampaikan ajarannya secara baik dan bijaksana, tidak merasa takut dan rikuh, tetapi selalu siap menanggung risiko.

Kedua, menjelaskan tentang kandungan kitab suci. Ini sejalan dengan firman-Nya: “Dan Kami turunkan kepadamu, Al-Qur’an agar kamu jelaskan kepada manusia” (QS. An-Nahl 16: 44).
Ini menuntut ulama untuk terus-menerus mengajarkan kandungan kitab suci, sekaligus terus-menerus mempelajarinya (baca QS. Fathir 35: 29), atau, dalam istilah Al-Qur’an menjadi Rabbaniyin (baca QS. Ali-Imran 3: 79). Ulama atau ilmuwan dituntut untuk memberi nilai rabbani pada ilmu mereka. Ini dimulai sejak motivasi menuntut ilmu sampai dengan penerapan ilmunya dalam kehidupan nyata.

Perlu juga ditegaskan bahwa dalam menyampaikan ajaran kitab suci, ayat ketiga dari wahyu kedua yang diterima Nabi Saw (QS. Al-Muddatstsir 74: 6) menggarisbawahi la tamnun tastaktsir (Janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh imbalan yang lebih banyak). Motivasi untuk memperoleh imbalan yang berlebih, dapat mengantarkan ulama atau ilmuwan tidak memiliki niat suci, baik dalam penelitian dan penerapan ilmunya, maupun dalam pengabdiannya. Dengan kata lain, ulama harus ikhlas dalam pengabdiannya.
Dari upaya mengajar dan mempelajari kitab suci, lahir fungsi ketiga, yaitu memberi keputusan dan solusi bagi problem dan perselisihan masyarakat. Hal ini sejalan dengan firman-Nya:
“Dan Dia (Allah) menurunkan kepada mereka (para Nabi) kitab suci dengan benar agar mereka memutuskan antara manusia apa yang mereka perselisihkan” (QS. Al-Baqarah 2: 213).

Solusi yang diberikan tidak boleh mengawang-awang di angkasa, dalam arti hanya indah terdengar, tetapi harus membumi, dalam arti dapat dipahami dan diterapkan. Dengan kata lain, dalam menjalani fungsi yang ketiga ini, ulama harus memiliki hikmah. Hikmah, tulis Al-Ashfahani:
اِصَابَةُ الْحَقِّ بِا لْعِلْمِ وَالْعَقْلِ, فَا لْحِكْمَةُ مِنَ اللَّهِ مَعْرِفَةُ الاَ شْيَاءِ
وَاِ يْجَادُهَا عَلَى غَايَةِ الآِحْكَامِ
Jadi hikmah adalah menggapai kebenaran dengan menggunakan ilmu dan akal; sedangkan hikmah dari Allah adalah kemampuan dalam memahami hakikat sesuatu dan mampu mengaplikasikannya dengan arif bijaksana. Dengan kata lain, seorang ulama bukan hanya mampu memahami hakikat kebajikan dan kebenaran, tapi juga mampu mengaplikasikannya dengan benar dan tepat secara kontekstual.

Dari sini, lahir fungsi keempat, yaitu memberi contoh sosialisasi dan keteladanan. Itu sebabnya Nabi Saw dijadikan Allah sebagai teladan (lihat QS. Al-Ahzab 33: 21), dan sebagaimana keterangan istri beliau, Aisyah r.a: “Sikap dan tingkah laku Rasul adalah Al-Qur’an”. Dalam konteks ini, para ahli waris Nabi dituntut bukan sekedar menampilkan yang baik, tetapi yang terbaik.

Sampai di sini, kita melihat betapa dalam, luas, dan luhurnya arti dari kata ‘ulama, tapi sekaligus betapa mulia dan beratnya tanggung jawab yang dipikulnya. Seorang ulama bukan hanya orang yang cerdas, tapi juga tulus ikhlas dalam menyampaikan ilmunya. Seorang ulama bukan hanya orang yang benar-benar menguasai ilmunya secara utuh, tapi juga mampu memberikan solusi-solusi yang arif bijaksana dan kontekstual bagi problematika umat.

Seorang ulama bukan hanya orang yang kreatif menyampaikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, tapi juga memiliki rasa takut yang disertai pengagungan kepada Allah. Seorang ulama bukan cuma orang yang fasih membicarakan beragam wacana ilmu yang dikuasainya secara teoretis, tapi juga sanggup mengamalkan ilmunya secara praktis sekaligus menjadi teladan indah dari semua yang disampaikannya.
Dengan mengetahui makna ulama dan konsekuensinya tersebut, maka tidak mengherankan jika tidak sedikit kaum intelektual dan cendekiawan muslim kita, bahkan sebagian kyai-kyai kita yang sangat alim merasa enggan disebut sebagai ulama. Kalau mereka sudah sangat alim dan benar-benar menguasai ilmu yang dimilikinyya secara holistik, tapi boleh jadi bersama ilmu tersebut mereka merasa belum benar-benar memiliki khossyah yang utuh kepada Allah. Kalau mereka sudah memiliki rasa khosyyah kepada Allah dengan ilmu yang dimilikinya, boleh jadi mereka merasa belum benar-benar tulus ikhlas dalam menyampaikan ilmunya.

Bila mereka sudah ikhlas dalam menyampaikan ilmu yang dimilikinya, bisa jadi mereka belum mampu menawarkan solusi-solusi terbaik dan arif bijaksana untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi umatnya. Dan apabila mereka telah sanggup memberikan solusi terbaik dan arif bijaksana, bisa jadi mereka belum mampu menjadi teladan indah dari semua bentuk pengetahuan yang telah disampaikannya selama ini. Karena itulah, mereka masih enggan disebut sebagai ulama, walaupun sebenarnya dalam tataran tertentu mereka memang layak menyandang sebutan sebagai ulama.

Hari ini, kita menyaksikan sebagian orang, bahkan figur yang cukup terdidik dengan begitu mudahnya menyematkan gelar ulama kepada orang yang sesungguhnya tidak layak sedikit pun menyandang gelar ulama. Kita semua tahu, ada interes politik sesaat di situ. Meskipun hal itu tidak pantas dilakukan, tapi itulah realitasnya kalau orang sudah terlibat dalam lingkaran politik praktis. Hal-hal yang naif sekalipun akan mereka lakukan demi meraih keuntungan pragmatis yang mereka dambakan. Dan sejarah kehidupan politik umat manusia, sejak era klasik hingga hari ini, banyak memberi pelajaran amat berharga kepada kita: Siapapun saja yang sudah terlibat dalam lingkaran partisan politik praktis, maka demi setampuk jabatan dan tahta kekuasaan, kejernihan hati nurani mereka akan hilang dan nalar sehat mereka menjadi tumpul.

Wallahu a’lam bish showab.